Sehatkan Generasi: Indonesia Maju
Berbagai
macam emosi mampir setidaknya setiap detik dalam kehidupan setiap individu.
Beberapa diantaranya bahkan menjadi setia kawan dan terkadang enggan untuk
pergi. Takut, cemas, khawatir, biasanya seringkali mampir dalam kehidupan kita.
Apalagi, di masa seperti sekarang ini adanya kemajuan teknologi dan pandemi
dapat menjadi sebuah faktor pendorong kedatangan emosi-emosi itu. Malah
terkadang emosi yang datang itu seakan tak tahu diri, seenaknya saja menetap.
Hingga pada akhirnya menyusahkan kehidupan setiap jiwa. Inilah awal dari yang
kebanyakan setiap manusia katakan sebagai mental
disorders. Perlu kita ketahui juga bahwa mental disorders merupakan musuh terbesar dari kesehatan mental.
American
Psychological Association
(APA) melakukan sebuah penelitian pada tahun 2018 yang
menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa anak muda usia 15 sampai 21 tahun
merupakan kelompok manusia dengan kondisi kesehatan mental terburuk
dibandingkan dengan generasi-generasi lainnya. Dimana dalam rentang usia
tersebut, manusia dapat dikelompokkan dalam sebuah generasi yang bernama Generasi
Z atau biasanya dikenal sebagai Gen Z. Hal tersebut sesuai dengan yang
disebutkan oleh Taylor & Keeter (2010) bahwa Gen Z merupakan orang-orang
yang lahir pada tahun 1993 sampai dengan tahun 2005.
Padahal
dalam kenyatannya, Gen Z saat ini telah memasuki usia produktif yang sekaligus
berperan sebagai generasi penerus bangsa. Generasi yang diharapkan dapat
membangun sebuah negara menjadi negara yang lebih baik lagi. Jika generasi yang
sangat diperlukan bagi sebuah negara ini memiliki tingkat kesehatan mental yang
rendah, maka hal tersebut akan berpengaruh pula terhadap negara itu sendiri. Oleh
karena itu, setiap negara rasanya memiliki kewajiban untuk menghilangkan
fakta-fakta menyedihkan ini.
Di
negara kita sendiri, Indonesia, yang berhasil tercatat ialah lebih dari 19 juta
penduduk usia diatas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional dan lebih
dari 12 juta orang berusia diatas 15 tahun diperkirakan telah mengalami depresi
(Riskesdas, 2018). Sedangkan, angka bunuh diri diperkirakan mencapai 1.800
kasus per tahun dengan 75 persennya terjadi pada usia produktif, yaitu 15-64
tahun, (Pusdatin, 2019).
Angka-angka
tersebut tentunya bukan nilai yang perlu dibanggakan. Pada kenyatannya, fakta
tentang data-data tersebut dapat menjadi sebuah peringatan bagi bangsa kita,
Indonesia, untuk mulai sadar dan menaganggap serius betapa pentingnya menjaga
kesehatan mental bagi diri sendiri, orang lain, juga lingkungan. Namun
sayangnya, angka ini kemudian semakin sulit untuk ditekan karena adanya pandemi
yang sedang dunia kita hadapi.
WHO
atau World Health Organization pada
maret lalu telah resmi menyatakan bahwa wabah virus Covid-19 telah berubah
status sebagai pandemi global. Hal tersebut kemudian diikuti dengan segala
macam peraturan penanganan, salah satu contohnya yang sangat berpengaruh dalam
kesehatan mental ialah aturan social
distancing dengan salah satu implementasinya, yaitu tidak banyak melakukan
aktivitas di luar rumah dengan dampak
terbesar yang dihasilkan ialah dari metode work
and school from home.
Manusia
pada dasarnya merupakan makhluk sosial. Setiap manusia memerlukan orang lain
untuk berkomunikasi atau berinteraksi sebagai bentuk menjalin sebuah hubungan.
Selain itu, komunikasi adalah cara untuk mengatasi kecemasaan yang selalu
disertai tekanan (Dunbar dalam Hurlock, 1998: 192). Dalam masa pandemi seperti
sekarang ini, setiap individu sebenarnya tidak pernah terputus dari kata
interaksi. Akan tetapi, interaksi yang dilakukan pastinya tidak semaksimal sebelumnya.
Kebanyakan interaksi saat ini dilakukan tanpa adanya tatap muka dan kontak
fisik, hanya melalui sebuah aplikasi dengan perantara perangkat elektronik,
seperti smartphone dan laptop.
Alur
dinamika sosial juga semakin banyak mengalami perubahan akibat keadaan ini.
Mulai dari adanya perubahan cara berkomunikasi antarindividu, kemampuan dalam
menggunakan teknologi, serta tuntutan dari keadaan bagi setiap individu untuk
menjadi lebih berkualitas daripada sebelumnya yang datang secara tiba-tiba.
Hal-hal tersebut menjadi salah satu hal yang berpotensi dalam menciptakan
sebuah tekanan bagi setiap individu. Tekanan itulah yang kemudian dapat
membebani setiap individu dan kemungkinan paling buruknya berkembang menjadi gangguan
kesehatan mental.
Sedangkan,
merujuk pada data yang dikatakan oleh Ketua Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dr. Eka Viora, SpKJ, di
Indonesia terdapat sekitar 15,6 juta penduduk yang mengalami depresi. Sayangnya
hanya 8 persen yang mencari pengobatan ke profesional. Angka penanganan yang
juga tak kunjung membaik ini sejalan dengan masih adanya stigma negatif dari
masyakat Indonesia kepada seseorang yang mengalami gangguan mental. Dokter Eka mengatakan
bahwa terlalu banyak stigma negatif yang beredar yang
kemudian menghalangi para penderita untuk mendapatkan dukungan yang tepat dan
berkonsultasi kepada seorang psikolog yang dalam hal ini dianggap sebagai
seorang profesional.
Memang,
nyatanya hingga saat ini, tak jarang kita temui masyarakat yang masih berpikir
bahwa mengunjungi seorang psikolog sama dengan mengakui bahwa diri kita sendiri
gila. Padahal nyatanya, stigma negatif itu sendiri yang kemudian mengakibatkan
seseorang semakin tertekan dengan keadaan yang sedang ia alami. Hal itu yang
pada akhirnya menyebabkan kesehatan mentalnya semakin buruk dan diperparah
dengan tidak adanya upaya untuk mengobatinya.
Penanganan
kesehatan mental yang dikhususkan sebagai upaya mengurangi dampak Covid-19 juga
diberikan oleh WHO pada bulan maret lalu. Pesan tersebut ditujukan kepada
setiap kelompok masyarakat dalam sebuah surat. Beberapa saran secara umum dari
WHO diantaranya, yaitu dengan tidak mengembangkan stigma
negatif terhadap para pasien Covid-19, tidak menonton dan membaca berita
tentang wabah ini jika hanya akan menimbulkan kecemasan, dan melindungi diri
sendiri serta saling mendukung satu sama lain (WHO, 2020).
Pemerintah
dalam hal ini juga telah berupaya untuk menangani masalah kesehatan mental
dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014
tentang kesehatan jiwa, Selain itu, pemerintah juga telah mulai mengenalkan
program-program untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya
kesehatan jiwa, salah satunya, yaitu sosialisasi kepada masyarakat dengan
tujuan untuk menghilangkan stigma negatif tentang mental disorders yang telah beredar luas dalam masyarakat.
Sudah saatnya untuk masing-masing individu dan masyarakat menjadikan segala fakta yang ada sebagai sebuah dorongan untuk mulai memperhatikan pentingnya menjaga kesehatan mental. Sudah saatnya pula masyarakat menghilangkan stigma negatif yang selama ini beredar tanpa kendali. Masalah ini pada kenyatannya bukanlah masalah yang tidak dapat diselesaikan. Hanya tinggal masalah waktu saja sampai masyarakat Indonesia sadar bahwa kesehatan mental juga perlu untuk dijaga.
Harrah's Cherokee Casinos to Close First Week of June | KTNV
BalasHapusHarrah's Cherokee Casinos will begin closing at noon 광양 출장마사지 on 충청북도 출장마사지 June 1, the 강원도 출장안마 company announced 다파벳 today. The casinos in Tunica, 광명 출장마사지