Resensi Novel "Ayahku (Bukan) Pembohong" Tere Liye


                                         Cover Lama                                Cover Baru


I. Identitas Buku
  • Judul Buku : Ayahku (Bukan) Pembohong
  •  Penulis : Tere Liye
  • Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
  • Tahun Terbit : 2011
  • Cetakan : Pertama, April 2011
  • Tebal Buku : 304 Halaman

II. Biografi Penulis

     Penggemar novel Indonesia pastilah sudah tidak asing dengan nama ini. Bagaimana tidak asing? Penulis ini sudah menulis hingga sekitar 28 karya dan beberapa karyanya tersebut telah menjadi best seller dan bahkan ada yang telah diangkat ke layar kaca. Pernah menonton Hafalan Shalat Delisha dan Moga Bunda Disayang Allah? Kedua film tersebut diangkat dari novel karya Tere Liye, nama pena yang selalu ia sematkan di setiap karyanya. Pria kelahiran Lahat, Sumatera Selatan ini bernama asli Darwis. Lahir tepat pada tanggal 21 Mei 1979. Penulis berusia 38 tahun ini telah menikah dengan Riski Amelia dan dikaruniai seorang putra bernama Abdullah Pasai.
     Tere Liye meyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di SDN 2 Kikim Timur dan SMPN 2 Kikim Timur, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Lalu, melanjutkan sekolahnya ke SMAN 9 Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Setelah lulus, ia meneruskan studinya ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kegiatannya setelah selesai kuliah banyak diisi dengan menulis buku-buku fiksi. Dengan kata lain, menulis ialah hobinya.
     Beliau telah banyak menelurkan karya-karya best seller, seperti Hujan, Hafalan Shalat Delisha, Rindu, Bumi, dan sebagainya. Hal itulah yang membuat ia dikatakan telah sukses dalam dunia literasi Indonesia. Namun, dengan segala kesuksesan itu Tere Liye masih memilih untuk bekerja kantoran sebagai akuntan.
     Novel terbaru yang ditulis beliau ialah novel berseri. Bumi (2014), Bulan (2015), Matahari (2016), Bintang (2017), dan Komet yang diperkirakan akan diterbitkan tahun 2018.


III. Latar Belakang
   
     "Kapan terakhir kali kita memeluk ayah kita?” Kalimat inilah yang akan kita temukan pertama kali ketika membaca sinopsis Ayahku (Bukan) Pembohong. Dari satu kalimat tanya sederhana tersebut, dapat kita tebak menuju arah mana Tere Liye akan membawa pembacanya. Dapat kita bayangkan nasihat apa yang hendak beliau sampaikan.
     Ayah ialah sosok berhati baja yang ingin keluarganya mendapatkan kebahagiaan walau ia harus bersusah payah untuk mewujudkan hal itu. Sayangnya, usaha keras ayah kadang tidak terlihat. Transparan hingga dapat ditembus cahaya.
     Setiap ayah di muka bumi pastilah menginginkan anak-anaknya mendapatkan kebahagiaan sejati. Dalam mewujudkan hal itu, setiap ayah di muka bumi pastilah memiliki caranya sendiri untuk mendapatkan perwujudan nyata dari harapannya itu. Kita sebagai anak, kadang tidak sadar akan proses “perwujudan nyata” tersebut. Bahkan, cenderung meremehkan dan tidak mempedulikannya.
     Dalam novel ini, Tere Liye mengisahkan cerita tentang seorang anak yang dibesarkan dengan dongeng-dongeng kesederhanaan hidup. Namun, kesederhanaan itu justru membuat ia membenci ayahnya sendiri. Dalam novel inilah Tere Liye memberitahukan sebuah rumus sederhana tentang kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati yang diwariskan dengan sepenuh hati dari seorang ayah kepada anak laki-lakinya.


IV. Isi Buku
 
     Bab pertama buku ini menarasikan seorang anak yang telah berhenti memercayai kisah-kisah ayahnya sejak umurnya dua puluh tahun. Narasi pada bab ini berlanjut ketika anak tersebut telah menikah dan dikarunia dua orang anak, Zas dan Qon. Ketika cerita ini dimulai, ayah dari anak tersebut alias kakek dari Zas dan Qon tengah bercerita kisah-kisah sederhana yang dulunya sempat ia ceritakan kepada Dam, anak semata wayangnya.
     “Hari ini umurku empat puluh. Sudah dua puluh tahun aku berhenti memercayai cerita Ayah. Bukan karena kehilangan semangat untuk mendengarkan kisah-kisah itu, bukan karena tidak bisa menghargai seorang ayah, tetapi karena aku tahu persis, ayahku seorang pembohong” Itu barusan kata Dam, anak satu-satunya dari kakeknya Zas dan Qon. (hlm 7)
     “Di rumah ini, aku tidak akan membesarkan Zas dan Qon dengan dusta seperti yang dilakukan Ayah dulu kepadaku.” Yang ini juga kata Dam, penilaian dari Dam kepada ayah dan segala kisah-kisah hebatnya. (hlm 7)
     “Hei, Dam. Bisakah setidaknya kau ikuti dulu alur ceritanya lalu berpendapat?” Kalau yang ini sih, kata si Peresensi Buku untuk Dam. Hehe.
     Baiklah. Kembali pada isi novel ini. Bab kedua hingga beberapa bab kedepan akan menceritakan tentang masa tiga puluh tahun yang lalu ketika Dam masih berusia sepuluh tahun. Ketika ia masih semangat mendengarkan kisah-kisah ayahnya. Ketika ia masih semangat mengambilkan ayahnya segelas air putih dan memijat bahu ayahnya. Ketika ia, Dam, masih sepenuhnya percaya dengan kisah-kisah yang keluar dari mulut Sang Ayah.
     Novel ini beralur campuran. Pada suatu bagian, ia menceritakan tentang masa tiga puluh tahun lalu. Namun, terkadang ia kembali menceritakan suasana dimana Zas dan Qon telah terlahir di dunia ini.
     Pada bagian masa tiga puluh tahun lalu, Tere Liye menceritakan berbagai macam kisah aneh namun mengandung banyak sekali pelajaran hidup yang berarti. Namun tentu saja, dalam novel ini yang berperan menceritakan kisah-kisah itu ialah tokoh Ayah. Banyak sekali yang ia kisahkan. Banyak pula dari kisah-kisah tersebut yang dapat membantu Dam tumbuh menjadi anak dengan kepribadian yang baik.
     Kisah Ayah ini diceritakannya melalui sebuah dongeng dari perjalanan hidupnya. Sang Ayah ialah seorang pendongeng yang hebat. Ia bahkan dapat membuat kisahnya sendiri hanya dengan melihat sebuah benda. Hal itulah yang membuat Dam tidak tahu lagi batas dongeng dan cerita nyata atas kisah-kisah ayahnya ini.
     Namun, ketika Dam telah beranjak dewasa, ia menemukan sebuah buku tua berjudul Apel Emas Lembah Bukhara dan Suku Penguasa Angin di perpustakan sekolahnya, Akademi Gajah. Kisah yang ada pada buku tersebut sama persis dengan kisah yang pernah diceritakan Ayah kepada Dam. Sejak saat itulah, Dam mulai meragukan kisah-kisah Ayah.
     Rasa kesal Dam kepada Ayah semakin memuncak ketika ibunya meninggal dunia. Ayah yang ketika istrinya sakit tidak pernah mengusahakan kesembuhannya karena sangat yakin terhadap omongan si Raja Tidur –yang menurut Dam juga hanya cerita bohong ayahnya– yang mengatakan bahwa Ibu tidak dapat disembuhkan dan hanya kebahagiaan yang dapat membuat ibunya bertahan sejauh ini.
     Kenyataan-kenyataan inilah yang membuat Dam membenci ayahnya selama setidaknya dua puluh tahun. Hingga suatu ketika, ayahnya meninggal dunia. Pada saat itulah, Dam mengetahui kepastian atas kebenaran cerita-cerita itu melalui beberapa kejadian ketika Sang Ayah dimakamkan. Saat itulah bahwa untuk pertama kalinya, ketika Dam sadar selama ini yang dipikirkannya tentang Sang Ayah salah besar.
     “Pagi itu aku tahu, Ayah bukan pembohong.” Kata Dam. (hlm 298)


V. Kelebihan dan Kekurangan Buku
 
     Kelebihan buku ini terletak pada gaya penulisan Tere Liye yang tidak perlu diragukan lagi. Bahasa yang sederhana namun dapat menyihir para pembaca untuk terus membaca kalimat demi kalimat di dalam novelnya. Kelebihan buku juga muncul pada alur cerita yang tidak memusingkan. Alur novel ini campuran, namun Tere Liye berhasil membuat pembaca tidak bingung ketika membacanya. Pesan dalam cerita juga dapat diresap dengan mudah oleh para pembaca.
     Sedangkan, kekurangan buku ini didapatkan dari beberapa hal yang menurut saya sendiri masih menjadi sebuah misteri, namun tidak diceritakan lebih lanjut oleh Sang Penulis. Contohnya saja, buku tua yang ditemukan Dam di perpustakaan Akademi Gajah. Saya sendiri tidak tahu bagaimana buku itu tercipta dan siapa penulisnya. Apakah tokoh Ayah yang menulisnya? Hal itu tidak dijelaskan.


VI. Kesimpulan

     Novel ini saya rekomendasikan kepada setiap anak yang ingin mengenal sosok Ayah lebih jauh lagi, kepada setiap orang yang ingin menemukan sebuah rumus kebahagiaan sejati. Novel ini tidak hanya mengajarkan kita betapa berjasanya seorang Ayah dalam hidup. Novel ini juga mengajarkan banyak sekali pelajaran hidup yang berharga untuk seluruh penghuni muka bumi.
     “Mulailah membaca novel ini dengan hati lapang, dan saat tiba di halaman terakhir, berlarilah secepat mungkin menemui ayah kita, sebelum semuanya terlambat, dan kita tidak pernah sempat mengatakannya.” Pesan Tere Liye untuk para pembaca novel Ayahku (Bukan) Pembohong.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer