Resensi Novel "Pulang" Tere Liye
Lama sudah saya tidak menulis di sini.
Terlalu sibuk, akhir-akhir ini sudah sangat banyak kegiatan. Setiap harinya
berangkat pagi sekali, walaupun saya termasuk yang paling mepet datang ke
sekolah. Mendapat banyak tugas dan proyek. Belum lagi pekerjaan rumah yang
senantiasa mengikuti saya. Setiap hari, pulang setelah azan asar. Bahkan,
terkadang pulang malam—yang ini karena les, kok!
Iya, sudah kok curhatnya.
Saya kembali hadir dan menulis
di sini ditemani dengan sebuah nama. Nama yang mungkin tidak asing bagi para
penggemar novel. Atau mungkin nama ini tidak asing bagi kalian yang sudah
membaca tulisan saya sebelumnya. Hehe.
Dialah Tere Liye. Nama yang akan
menemani tulisan saya. Kali ini, seperti kali sebelumnya. Saya akan menuliskan
resensi dari sebuah buku yang ia tulis. Pulang.
Cover Lama Cover Baru
I.
Identitas Buku
-
Judul
Buku : Pulang
-
Penulis : Tere Liye
-
Penerbit : Republika
-
Tahun
Terbit : 2015
-
Cetakan : Pertama, September 2015
-
Tebal
Buku : iv+ 400 Halaman
II. Biografi Penulis
Tidak seru rasanya jika saya menerapkan
jurus copy-paste untuk bagian yang
satu ini. Jujur saja, biografi Tere Liye itu sangat mudah untuk ditemukan—wajar, beliau kan terkenal. Bahkan di
tulisan sebelumnya, saya sudah merangkum biografi beliau dari berbagai
informasi yang saya temukan.
Namun, baiklah. Mari dipersingkat lagi.
Tere Liye bukanlah nama asli beliau,
nama itu merupakan ‘nama panggung’ yang ia gunakan pada setiap karyanya.
Darwis, nama aslinya. Lahir di Lahat, Sumatera Selatan. Lahir 21 mei dan sekarang
beliau telah berumur 39 tahun.
Menulis bukanlah pekerjaan utamanya.
Menulis ialah hobinya. Banyak sudah karyanya yang sukses dipasaran. Best Seller. Diadaptasi menjadi film.
Dicetak ulang berkali-kali.
Karyanya yang terbaru ialah novel
berseri. Bumi (2014), Bulan (2015),
Matahari (2016), Bintang (2017), Ceros dan Batozar (2018), Komet (2018),
dan masih akan berlanjut dengan Komet
Minor. Setelah Komet Minor
mungkin akan dilanjutkan dengan Komet
Mayor.
Mungkin. Hanya sebatas ekspetasi saya,
sih :)
III.
Latar
Belakang
Novel ini akan membahas banyak hal
mengenai pulang. Lebih tepatnya, definisi pulang yang sesungguhnya. Tidak hanya
satu definisi yang disuguhkan oleh Tere Liye. Melainkan, banyak. Dalam novel
ini, pulang dapat didefinisikan dari sudut pandang manapun. Tergantung, dari
definisi mana yang akan kita butuhkan. Definisi mana yang dapat menggerakkan
hati kita. Definisi mana yang akan membuat kita benar-benar merasa ingin
‘pulang’.
Inilah sebuah kisah dari perjalanan
pulang. Dengan cerita yang akan memberikan kita banyak nasihat. Cerita dimana kita
akan diajarkan untuk memeluk semua kebencian dan rasa sakit.
IV.
Isi
Buku
Dimulai dengan narasi percaya diri dari
seseorang yang tak kenal takut. Dari seseorang yang tidak akan pernah sedetik
pun meluangkan waktunya untuk mendengar komentar orang lain mengenai hidupnya.
Ia memulai kisahnya dengan lompatan
waktu dua puluh tahun yang lalu. Saat umurnya lima belas. Saat rombongan mobil
jip mendatangi rumahnya dengan alasan hendak berburu babi hutan yang belakangan
ini meresahkan warga sekitar. Pimpinan rombongan itu rupanya teman dekat dari
Bapak Bujang. Ya, Bujang. Nama dari tokoh utama percaya diri yang tak kenal
takut.
Rasa tak kenal takutnya ia dapatkan
saat rombongan mobil jip itu datang kerumahnya. Lebih tepatnya, ia dapatkan
ketika ia ikut berburu bersama rombongan mobil jip itu untuk berburu babi
hutan.
“Aku
bersiap melakukan pertarungan hebat yang akan dikenang. Hari saat aku menyadari
warisan leluhurku yang menakjubkan, bahwa aku tidak mengenal lagi definisi rasa
takut.” Kata Bujang. (hlm 20)
Pada saat itu juga, Bujang diajak oleh
Tauke Muda, pemimpin rombongan mobil jip, untuk ikut dengannya ke Kota.
Bapaknya, Samad, mengizinkan Bujang untuk ikut karena suatu janji. Namun, Mamak
Bujang, belum rela melepaskan kepergian anaknya.
“Mamak
akan mengizinkan kau pergi, Bujang. Meski itu sama saja dengan merobek separuh
hati Mamak. Pergilah, anakku, temukan masa depanmu. Sungguh, besok lusa kau
akan pulang. Jika tidak ke pangkuan Mamak, kau akan pulang pada hakikat sejati
yang ada dalam dirimu. Pulang....” Kata Mamak Bujang berbisik. (hlm 23 dan 24)
Tak lupa pula Mamak Bujang berpesan
sesuatu, “Mamak tahu kau akan jadi apa di
kota sana…. Mamak tahu…. Tapi, tapi apa pun yang akan kau lakukan di sana,
berjanjilah Bujang, kau tidak akan makan daging babi atau daging anjing. Kau
akan menjaga perutmu dari makanan haram dan kotor. Kau juga tidak akan
menyentuh tuak dan segaka minuman haram.” (hlm 24)
Pada akhirnya, berangkatlah Bujang ikut
bersama dengan Tauke Muda. Namun, tidak ada yang tahu. Bahwa pada saat itulah, terakhir
kalinya bagi Bujang untuk bertemu dan bertatap muka langsung dengan kedua orang
tuanya.
Dua puluh tahun berlalu, Bujang telah
menjadi salah satu orang paling berpengaruh bagi Keluarga Tong, keluarga yang
dikepalai oleh Tauke Besar—yang pada saat pertama kali
bertemu Bujang dikenal dengan sebutan Tauke Muda.
Dalam
menggapai titik itu, tidak mudah bagi Bujang. Ia harus menghadapi berbagai
masalah termasuk kenyataan bahwa Mamak telah tiada. Begitupula disusul dengan
Bapak. Bujang berkisah bahwa ia memiliki tiga lapisan yang membuat ia tidak
mengenal rasa takut. Dua lapisan telah terkelupas bersamaan dengan meninggalnya
kedua orangtuanya. Kini, hanya tersisa satu lapisan terakhir bagi Bujang.
Bujang
tumbuh menjadi seseorang yang cerdas dan kuat fisiknya. Namun, ia tidak tumbuh
sesuai dengan arus agama Mamak. Arus yang bahkan sangat bertentangan. Meskipun
begitu, ia sama sekali tidak mengingkari janjinya dengan Mamak untuk tidak
mengkonsumi daging dan minuman haram.
Dengan
usaha dan kerja keras Tauke Besar bersama dengan rekan-rekan lain. Keluarga
Tong tumbuh menjadi keluarga yang paling berkuasa. Mencapai titik tertinggi
dari pencapaiannya. Namun, pada saat itulah, pengkhianatan terjadi. Ketika
Tauke Besar telah ringkih dan sakit-sakitan. Salah satu anggota keluarga
mengkhianati. Diam-diam mengatur strategi. Untuk kemudian mengambil alih.
Tauke
Besar meninggal akibat kondisinya yang memang sudah rapuh sedari awal. Namun,
Bujang dengan satu rekan kepercayaan masih bertahan hidup—walau dengan luka
yang luar biasa dan mengungsi di sebuah perkampungan yang memiliki bangunan
masjid besar di dalamnya.
Bujang
putus asa. Lapisan terakhir yang ia miliki telah terkelupas. Bukan karena
jatuhnya kekuasan Keluarga Tong ke tangan pengkhianat. Melainkan, karena
meninggalnya Tauke Besar. Saat itulah pertama kalinya dalam kehidupan Bujang,
ia merasakan kembali rasa takut, setelah sekian lama ia tidak mengenal definisi
kata tersebut.
Bujang
bahkan hampir menyerah menerima takdir kekuasaan Keluarga Tong telah diambil
alih. Dua hari lamanya ia merenung sambil memulihkan diri. Menata hati. Namun,
kemudian seseorang membantunya. Sebutannya Tuanku Imam, kakak tertua dari
keluarga Mamak. Ia kemudian menyadarkan Bujang akan sesuatu yang sangat penting
melalui nasihatnya.
“Peluklah semuanya, Agam. Peluk
erat-erat. Dekap seluruh kebencian itu. Hanya itu cara agar hatimu damai, Nak.
Semua pertanyaan, semua keraguan, semua kecemasan, semua kenangan masa lalu,
peluklah mereka erat-erat. Tidak perlu disesali, tidak perlu membenci, buat
apa? Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari terburuk
sekalipun?” Nasihat Tuanku Imam. (hlm 339)
Berbekal
nasihat itu, Bujang memutuskan untuk merebut kembali kekuasan Keluarga Tong
dari Sang Pengkhianat. Ia kemudian membawa rekan setianya pergi dari
perkampungan dan mengumpulkan rekan-rekan lain untuk memperkuat kubu. Dan
kemudian melakukan peperangan hidup dan mati.
Tidak
perlu saya ceritakan bagaimana akhir dari peperangan melawan pengkhianat itu. Percayalah,
akhir ceritanya akan lebih seru jika dibaca secara langsung :)
Apapun
hasil peperangan itu, kabar yang pasti ialah Bujang akhirnya berhasil pulang. Ia telah berhasil memeluk semua
kebencian dan rasa sakit yang ia rasakan dulu. Sekali lagi, Bujang berhasil pulang. Memang, tidak kepangkuan Mamak
atau Bapak. Melainkan ia pulang
kepada hakikat sejati dalam dirinya.
V.
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Seperti biasa,
setiap buku dari karya Tere Liye pastilah unggul akan nasihat-nasihatnya. Tidak
lupa dengan gaya bahasa dan penyampaian Tere Liye yang ‘enak’ disantap. Alur
cerita yang juga menarik. Menyinggung masalah shadow economy juga menyangkutkan dengan peperangan-peperangan
tersembunyi dibalik zaman modern. Kuatnya perwatakan yang dimiliki oleh
masing-masing tokoh juga benar-benar membuat saya kagum. Tere Liye seakan tahu
persis bagaimana watak dari setiap karakter yang tinggal di muka bumi.
Namun, ada
beberapa hal yang masih kurang menurut saya. Novel ini pada awalnya mengambil
alur cerita yang dimiripkan dengan kenyataan. Dunia nyata. Di Bumi. Namun,
menurut saya masih ada beberapa unsur magic
yang diselipkan. Dan jujur, itu sedikit menganggu imajinasi saya.
VI.
Kesimpulan
Novel ini
benar-benar direkomendasikan kepada siapapun yang belum menemukan definisi pulang miliknya. Kepada siapapun yang
masih enggan bersahabat dengan kebencian dan rasa sakit akan kenangan masa
lalu.
Buku ini
benar-benar membantu dengan segala nasihat dan pengetahuan yang terkandung di
setiap bab.
Buku ini benar-benar mengajarkan
tentang kesetiaan. Tentang pelajaran hidup yang sangat berharga.
Komentar
Posting Komentar